NOTARIS, KESAKSIAN DAN MU’AMALAH
Albaqarah 282
“ Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya dan hendaknya SEORANG PENULIS diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah PENULIS enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaknya ia menulis dan hendaklah pihak yang berhutang (menerima manfaat dari mu’amalah itu) membacakan apa yang akan ditulis dan hendaknya ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya, jika yang berhutang (yang menerima manfaat dari mu’amalah) itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaanya) atau ia sendiri tidak mampu membacakannya, maka hendaknya walinya membacakannya dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki diantaramu, jika tidak ada orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya, janganlah saksi-saksi itu tidak mau memberikan keterangan apabila mereka dipanggil dan janganlah kamu jemu menuliskan hutang itu baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat pada tidak menimbulkan persangkaan (keraguan). “
Kalau kita mencoba menyimak apa yang difirmankan Allah melalui surat Albaqarah tersebut diatas terdapat ketentuan tentang perlu adanya SEORANG PENULIS yang menuliskan setiap transaksi (mu’amalah),
Dalam transaksi mu’amalah yang dilakukan ditengah masyarakat secara tidak resmi sering dilakukan secara tertulis untuk menguatkan pembuktian dan itu dilakukan sendiri oleh masing-masing orang yang berkepentingan dengan atau tanpa merujuk pada ketentuan firman Allah dalam surat albaqarah tersebut diatas
Pada zaman khalifah dan kerajaan-kerajaan Islam kita mengenal juru tulis yang menuliskan setiap permasalahan yang ditangani oleh khalifah atau raja (sekretaris pribadi raja) yang dikenal dengan nama WADZIR,.
Pada zaman Romawi pada abad ke– lima dan ke– enam kerajaan mempunyai sekretaris pribadi yang merupakan pegawai-pegawai istana yang mengerjakan pekerjaan administrative yang dikenal dengan istilah NOTARIUS.
PENULIS pada waktu itu hanya menjalankan tugas untuk Pemerintah atau Kerajaan tidak melayani public (umum), sedangkan yang mereka yang menjalankan pekerjaan sebagai PENULIS untuk public yang membutuhkan keahliannya dinamakan TABELLIONES.
Fungsi PENULIS sebagai TABELLIONES sekarang ini dijalankan oleh Lembaga NOTARIS yang diIndonesia diadopsi dari lembaga Notaris yang ada dinegeri Belanda diatur berdasarkan “ De wet op het Notarisambt in Nederland” Staatblad tahun 1860 nomor 3 , sekarang ini di atur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris no 30 tahun 2004.
Notaris selaku “penulis “ telah merupakan lembaga yang diatur secara resmi dan produk yang dihasilkan berupa akta otentik.
Pengertian Akta/surat yang otentik sebenarnya adalah pengertian surat atau akta yang dibuat berdasarkan firman Allah dalam surat Albaqarah tersebut diatas yang diantaranya akta otentik itu harus dibacakan dan dihadiri oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat (diridhai), kualitas saksi antara laki-laki berbeda dengan perempuan dimana satu orang laki-laki dipersamakan dengan dua orang perempuan.
Akta Otentik menurut ketentuan pasal 1868 kitab undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk weboek) adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat dimana akta itu dibuat.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bentuk akte otentik yaitu Bab VII, Pasal 38 sampai dengan pasal 65 Undang-undang Republik Indonesia nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris